"Habib! Maafkanlah saya yang telah memfitnah Habib dan ajarkan saya sesuatu yang boleh menghapuskan kesalahan saya ini.”
Aku berusaha menjaga lisanku, tak ingin sedikitpun menyebarkan kebohongan dan menyinggung perasaan Habib lagi, detik kata hatiku. Habib Umar tersenyum. “Apa kau serius?” katanya.
Aku menganggukkan kepalaku dengan penuh keyakinan. “Saya serius, Habib! Saya benar-benar ingin menebus kesalahan saya.”
Habib Umar terdiam beberapa saat. Ia tampak berfikir. Aku sudah membayangkan sebuah doa yang akan diajarkan oleh Habib Umar kepadaku, yang jika aku membacanya beberapa kali maka Allah akan mengampuni dosa-dosaku.
Aku juga membayangkan satu perintah atau pekerjaan atau apa saja yang boleh menebus kesalahan dan menghapuskan dosa-dosaku. Beberapa detik kemudian, Habib Umar mengucapkan sesuatu yang benar-benar di luar sangkaanku.
"Apakah kamu mempunyai sebuah bulu ayam (pengibas habuk) di rumahmu?”
Aku benar-benar hairan kerana Habib Umar justeru menanyakan sesuatu yang tidak relevan untuk permintaanku tadi.
“Maaf, Habib?” Aku berusaha untuk memahami maksud Habib Umar.
Habib Umar tertawa, seperti Habib Umar yang biasanya. Di hujung tawanya, ia sedikit terbatuk sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, ia menghampiriku, "Ya, carikan satu bulu ayam yakni pengibas habuk di rumahmu,” katanya.
Nampaknya Habib Umar benar-benar serius dengan permintaannya.
“Ya, saya ada bulu ayam yakni pengibas habuk di rumah, Habib. Apa yang harus saya lakukan dengannya?” aku bertanya minta kepastian.
Habib Umar tersenyum. “Besok pagi, berjalanlah dari rumahmu ke pondokku,” katanya.
“Berjalanlah sambil mencabut sehelai demi sehelai bulu-bulu dari pengibas habuk itu. Setiap kali kamu mencabut sehelai bulu, ingatkan setiap perkataan burukmu tentang aku, lalu jatuhkan di jalanan yang kamu lalui.”
Aku hanya menganggukkan kepala dan aku tak akan membantahnya. Barangkali maksud Habib Umar adalah agar aku merenung semua kesalahan-kesalahanku. Dan dengan menjatuhkan bulu-bulunya satu persatu, maka kesalahan-kesalahan itu akan gugur diterbangkan oleh angin.
"Kau akan belajar sesuatu darinya,” kata Habib Umar. Ada senyum yang sedikit memberi keyakinan di wajahku.
Keesokan harinya, aku menemui Habib Umar dengan sebuah pengibas habuk yang sudah tidak memiliki sehelai bulupun pada tangkainya. Aku segera menyerahkan batang pengibas habuk itu pada beliau.
“Ini, Habib, bulu-bulu dari pengibas habuk ini sudah saya jatuhkan satu persatu sepanjang perjalanan. Saya berjalan lebih dari 5 km dari rumah saya ke pondok ini. Saya mengingati semua perkataan buruk saya tentang Habib. Saya menghitung betapa luasnya fitnah-fitnah saya tentang Habib yang sudah saya sebarkan kepada begitu banyak orang. Maafkan saya, Habib. Maafkan saya.”
Habib Umar mengangguk-angguk sambil tersenyum. Ada kehangatan yang aku rasakan dari raut mukanya, lalu dia bersuara...
“Seperti aku katakan kemarin, aku sudah memaafkanmu. Barangkali kamu hanya khilaf dan hanya mengetahui sedikit tentangku. Tetapi kau harus belajar sesuatu.” katanya.
Aku hanya terdiam mendengar perkataan Habib Umar yang lembut, menyejukkan hatiku.
“Kini pulanglah...” kata Habib Umar.
Ketika aku baru saja hendak melangkah pulang sambil mencium tangannya, tetapi Habib Umar melanjutkan kata-katanya...
"Pulanglah dengan kembali berjalan kaki dan menempuh jalan yang sama dengan saat kamu menuju ke pondokku tadi...”
Aku terkejut mendengarkan permintaan Habib Umar kali ini, apalagi mendengarkan 'syarat' berikutnya :
“Di sepanjang jalan kepulanganmu, pungutlah kembali bulu-bulu dari pengibas habuk tadi kau cabut satu persatu. Esok hari, laporkan kepadaku berapa banyak bulu yang dapat kamu kumpulkan.”
Aku terdiam. Aku tak mungkin menolak permintaan Habib Umar.
"Kamu akan mempelajari sesuatu dari semua ini,” Habib Umar mengakhiri kata-katanya.
Sepanjang perjalanan pulang, aku berusaha menemukan bulu-bulu dari pengibas habuk yang tadi kulepaskan di sepanjang jalan. Hari yang terik. Perjalanan yang melelahkan. Betapa sulit untukku menemukan bulu-bulu itu. Ia tentu saja telah ditiup angin, atau menempel di beberapa kenderaan yang sedang menuju kota yang jauh, atau disapu ke mana saja tempat yang kini tak mungkin aku ketahui.
Tapi aku harus menemukan bulu-bulu tersebut. Aku harus terus mencari di setiap sudut jalanan, lorong-lorong sempit, ke mana saja! Aku terus berjalan. Setelah berjam-jam, aku berdiri di depan rumahku dengan pakaian yang dibasahi keringat. Nafasku tercungap-cungap. Kerongkongku kering. Di tanganku, kugenggam lima helai bulu pengibas habuk yang berhasil kutemukan di sepanjang perjalanan. Hari sudah menjelang petang. Dari ratusan bulu ayam yang ku cabut dan ku jatuhkan dalam perjalanan ketika pergi bertemu Habib, hanya lima helai yang berhasil kutemukan dan kupungut sepangjang perjalanan pulang. Ya, hanya lima helai. Lima helai!
Hari berikutnya aku menemui Habib Umar dengan wajah yang murung. Aku menyerahkan lima helai bulu ayam yang telah ku kutip itu pada Habib Umar.
"Ini, Habib, hanya ini saja yang berhasil saya temukan.” Aku membuka genggaman tanganku dan menyerahnnya pada Habib Umar.
Habib Umar tersenyum, "Kini kamu telah belajar sesuatu,” katanya.
Aku mengerutkan dahiku, ingin tahu, "Apa yang telah aku pelajari, Habib?" Aku benar-benar tak mengerti.
"Tentang fitnah-fitnah itu,” jawab Habib Umar.
Tiba-tiba aku tersentak. Dadaku berdebar. Kepalaku mulai berkeringat.
"Bulu-bulu ayam yang kamu cabut dan kamu jatuhkan sepanjang perjalanan adalah fitnah-fitnah yang kamu sebarkan. Walaupun kamu benar-benar menyesali di atas perbuatanmu dan berusaha memperbaikinya, fitnah-fitnah itu telah menjadi bulu-bulu yang beterbangan entah kemana. Bulu-bulu itu adalah kata-katamu. Ia telah dibawa angin terbang ke mana saja, ke berbagai tempat yang tak mungkin dapat kamu duga, ke berbagai wilayah atau negara yang tak mungkin dapat kamu hitung!”
Tiba-tiba aku menggigil mendengarkan kata-kata Habib Umar. Seolah-olah ada satu hentakan pesawat yang paling dahsyat di dalam kepalaku. Seolah-olah ada tikaman mata pisau yang menghujam jantungku.
Aku ingin menangis sekeras-kerasnya. Aku ingin mencabut lidahku sendiri.
“Bayangkan salah satu dari fitnah-fitnah itu suatu saat kembali pada dirimu sendiri. Barangkali kamu akan berusaha meluruskannya, kerana kamu benar-benar merasa bersalah telah menyakiti orang lain dengan kata-katamu itu. Barangkali kamu tak ingin mendengarnya lagi. Tetapi kamu tak dapat menghentikan semua itu! Kata-katamu yang telah terlanjur tersebar dan terus disebarkan di luar kawalanmu, tak dapat kamu bungkus lagi dalam sebuah kotak besi untuk kamu kubur dalam-dalam sehingga tak ada orang lain lagi yang mendengarnya. Angin waktu telah mengabdikannya."
"Fitnah-fitnah itu telah menjadi dosa yang terus beranak-pinak tak ada penghujungnya. Agama menyebutnya sebagai dosa jariyah. Dosa yang terus berjalan di luar kawalan pelakunya. Maka tentang fitnah-fitnah itu, meskipun aku atau sesiapapun saja yang kamu fitnah telah memaafkanmu sepenuh hati, fitnah-fitnah itu terus mengalir hingga kau tak dapat membayangkan bila ianya akan berakhir. Bahkan meskipun kau telah meninggal dunia, fitnah-fitnah itu terus hidup kerana angin waktu telah membuatnya abadi. Maka kamu tak dapat menghitung lagi berapa banyak fitnah-fitnah itu telah memberatkan timbangan keburukan mu kelak.”
Tangisku benar-benar pecah. Aku tersungkur di lantai.
“Astaghfirullah hal-adzhim, Astaghfirullahal-adzhim, Astaghfirullah hal-adzhim”
Aku hanya mampu terus mengulangi istighfar. Dadaku gemuruh. Air mata menderas dari kedua hujung mataku.
“Ajarkanlah saya apa saja untuk membunuh fitnah-fitnah itu, Habib! Ajarakanlah saya! Ajarkanlah saya! Astaghfirullahalazim.” Aku terus menangis menyesali apa yang telah aku perbuat.
Habib Umar tertunduk sambil menitiskan air matanya.
“Aku telah memaafkanmu setulus hatiku, wahai anakku,” katanya.
"Kini, aku hanya mampu berdoa agar Allah mengampunimu, mengampuni kita semua. Kita harus percaya bahawa Allah, dengan kasih sayangnya, adalah Zat yang Maha terus menerus menerima taubat manusia. Innallaha tawwaabur-rahiim...”
Aku seperti disambar halilintar jutaan megawatt yang menggoncangkan batinku!
Aku ingin mengucapkan sejuta atau sebanyak-banyaknya istighfar untuk semua yang sudah kulakukan! Aku ingin membacakan doa apa saja untuk menghentikan fitnah-fitnah itu!
“Kini aku telah belajar sesuatu,”
Demikianlah sahabat dan saudaraku. Itulah sebab kenapa, fitnah itu 'KEJAM'. Lebih kejam dari pada pembunuhan.